Monday, December 6, 2010

PENGOBATAN DAN KECACATAN PENYAKIT KUSTA / LEPRA

Dr. Suparyanto, M.Kes

PENGOBATAN DAN KECACATAN PENYAKIT KUSTA / LEPRA

Tujuan Pengobatan
  • Menyembuhkan penderita kusta dan mencegah timbulnya cacat. Pada penderita tipe Pausebasiler yang berobat lebih dini dan teratur akan mempercepat sembuh tanpa menimbulkan kecacatan. Akan tetapi pada penderita yang sudah mengalami kecacatan hanya dapat mencegah cacat yang lebih lanjut.

  • Memutuskan mata rantai penularan dari penderita terutama tipe yang menular kepada orang lain. Pengobatan kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh, dan tanda-tanda penyakit menjadi berkurang dan akhirnya hilang. Dengan hancurnya kuman maka sumber penularan dari penderita tipe Multibasiler ke orang lain dapat terputus.


Obat-obatan Yang Digunakan
  • Menurut World Healty Organisation (WHO) pada tahun 1998 menambahkan 3 (tiga) obat antibiotika lain untuk pengobatan alternatif yaitu : ofloksasin, minosiklin dan klarifomisin, sedangkan obat anti kusta yang banyak dipakai saat ini adalah DDS (Diamino Diphenyl Suffone), clofazimine dan rifampizine.

1. DDS (Diamino Diphenyl Suffone)
  • Bentuk obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100 mg/tab, sifat bakteriostatik yaitu menghalangi atau menghambat pertumbuhan kuman Mycobacterium Leprae Dosis : untuk dewasa 100 mg/ hari dan untuk anak-anak 1-2 mg/kg BB / hari. Efek samping jarang terjadi, tetapi biasa yang timbul adalah : anemia hemolitik, anoreksia, nausea, vertigo, penglihatan kabur, sulit tidur hepatitis, alergi terhadap obat DDS (Diamino Diphenl Suffone) sendiri dan Psychosis.


2. Clofazimine atau Lamprene
  • Berbentuk kapsul warna coklat dengan takaran 50 mg/kapsul dan 100 mg/kapsul, sifat bakteriostatiknya menghambat pertumbuhan kuman Mycobacterium Leprae dan anti reaksi (menekan reaksi). Dosis yang digunakan ialah 50 mg/hari atau selang sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu.

  • Efek samping obat ini adalah warna kulit dapat kecoklatan sampai kehitam-hitaman tetapi dapat hilang bila pemberian obat distop, gangguan pencernaan dapat berupa diare dan nyeri pada lambung.


3. Rifampizin
  • Berbentuk kapsul atau kaplet dengan takaran 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600 mg, sifatnya mematikan kuman Mycobacterium Leprae (bakteriosid). Rifampizin merupakan obat kombinasi dengan DDS (Duamino Diphenyl Suffone) dengan dosis 10 mg / Kg BB, diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampizin tidak boleh diberikan secara monotheraphy karena dapat memperbesar terjadinya resistensi, efek sampingnya yaitu kerusakan pada hati dan ginjal.


4. Prednison
  • Obat ini digunakan untuk penanganan timbulnya reaksi.


5. Sulfas Ferrosus
  • Obat tambahan untuk penderita kusta yang mengalami anemia berat.


6. Vitamin A
  • Obat ini digunakan untuk menyehatkan kulit yang bersisik (Ichthiosis) (Depkes RI, 2006).


Obat alternatif lain yaitu :
1. Ofloksasin
  • Ofloksasin merupakan turunan florokuinolon yang paling aktif terhadap mycobacterium leprae, efek samping terjadi mual, muntah dan gangguan saluran pernafasan lain.


2. Minosiklin
  • Termasuk dalam kelompok tetrasiklin, efek bakteriosidalnya lebih tinggi daripada klaritomisin tetapi lebih rendah dari rifampisin


3. Klaritomisin
  • Merupakan kelompok antibiotika mikrolid dan mempunyai aktifitas bakteriosidalnya terhadap Mycobacterium pada tikus dan manusia


  • Rigimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO regimen tersebut adalah sebagai berikut :

1.Penderita Pausi Basiler (PB) 

a. Penderita Pausi Lesi I diberikan dosis tunggal ROM (Rifampisin Ofloxacin Minocycli)
  • Dewasa 50-70 kg:  600 mg;  400 mg;  100 mg

  • Anak 5-14 tahun:  300 mg;  200mg;  50 mg

  1. Obat ditelan di depan petugas.

  2. Anak kurang 5 (lima) tahun tidak diberikan ROM.

  3. Ibu hamil tidak diberikan ROM. 

  • Pemberian pengobatan sekali saja dan langsung dinyatakan RFT. Dalam program ROM tidak dipergunakan, penderita PB lesi satu diobati dengan regimen PB selama 6 (enam) bulan.


b. Penderita PB lesi 2-5
  • Dewasa, pengobatan bulanan : hari pertama (dosis yang diminum di depan petugas).

  1. 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg).

  2. 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg.

  • Pengobatan harian : hari ke 2- 28 : 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg, 1 blister untuk 1 bulan.

  • Lama pengobatan : 6 blister diminum selama 6-9 bulan.


4. Penderita Multi Basiler (MB)
  • Dewasa, pengobatan bulan : hari pertama (dosis yang diminum di depan petugas).

  • 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg).

  • 3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg).

  • 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg.

  • Pengobatan harian : hari ke 2 – 28

  1. 1 tablet lamprene 50 mg.

  2. 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg.

  3. 1 blister untuk 1 bulan.


KECACATAN PADA KUSTA
  • Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh karena kerusakan fungsi syaraf tepi baik karena kuman kusta maupun karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu keadaan reaksi lepra, mycobacterium leprae menyerang syaraf tepi sehingga mengakibatkan :

1. Kerusakan Fungsi Sensorik
  • Kelainan fungsi sensorik dapat menyebabkan terjadinya kurang atau mati rasa (anestasia), sehingga pada telapak tangan dan kaki dapat mengakibatkan luka sampai pada mutilasi absorbsi tulang, sedangkan pada kornea mata dapat mengakibatkan kurang atau hilangnya reflek kedip sehingga mata mudah kemasukan kotoran, benda-benda asing yang dapat menimbulkan infeksi mata sampai pada timbulnya kebutaan


2. Kerusakan Fungsi Motorik
  • Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah atau lumpuh dan lama kelamaan terjadi atropi. Hari-hari tangan dan kaki menjadi bengkok (clawa hand / claw toes) dan akhirnya terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur). Bila terjadi kelemahan atau kelumpuhan pada otot kelompak mata maka mata tidak dapat dirapatkan (Logophtalmus).


3. Kerusakan fungsi Otonom
  • Terjadi gangguan pada kalenjar keringat, kalenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah, pada umumnya apabila akibat kerusakan fungsi syaraf tidak ditangani secara cepat dan tepat maka akan terjadi cacat tingkat yang lebih berat atau parah (Depkes RI, 2006).


Usaha Pencegahan Cacat
  • Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam usaha pencegahan kecacatan adalah :

1. Pencatatan data dasar setiap pasien pada waktu registrasi, yang meliputi :
  • Pemeriksaan mata.

  • Pemeriksaan tangan yang meliputi :

  1. Adanya nyeri tekan pada syaraf.

  2. Kekuatan otot.

  3. Rasa raba.

  4. Dan adanya kecacatan yang lainnya.

  5. Pemeriksaan pada kaki.

  • Pemeriksaan pada kaki tujuannya sama dengan pemeriksaan pada tangan.


2. Kesimpulan dan tindakan berdasarkan hasil pemeriksaan yang meliputi :
  • Menentukan apakah penderita sedang dalam keadaan reaksi berat atau tidak sehingga perlu diobati dengan prednison atau tidak.

  • Mengajarkan cara perawatan diri kepada penderita dengan cacat yang sudah menetap.

  • Penderita yang tidak cacat perlu diberikan penjelasan mengenai resiko dan tanda-tanda reaksi agar penderita segera lapor ke petugas kesehatan atau puskesmas terdekat


3.Pelaksanaan program pencegahan cacat
4.Tingkat cacat menurut World Health Organisation

TINGKAT KECACATAN
  • Tingkat Mata Telapak Tangan / Kaki

  • 0: Tidak ada kelainan pada mata Tidak ada anesthesia, tidak ada cacat yang kelihatan akibat kusta

  • 1: Ada kelainan pada mata akibat kusta tetapi tidak kelihatan dan visus sedikit berkurang Ada anesthesia tetapi tidak ada cacat atau kerusakan yang kelihatan

  • 2: Ada lagophtalmos, visus sangat terganggu akibat kusta Ada cacat atau kerusakan yangkelihatannya misalnya : ulkus, jari – jari kiting


FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN PENGAMBILAN 0BAT

Dukungan keluarga
  • Dukungan keluarga adalah dukungan antar keluarga yang bersifat suportif yang dapat berupa bantuan langsung yang berkesenimbungan dan terus menerus sepanjang kehidupan (Friedman, 1998). Di dalam suatu keluarga harus saling mendukung diantara seluruh anggota keluarga, orang yang hidup di lingkungan yang bersifat supportif kondisi kesehatan jiwa lebih baik daripada mereka yang hidup tidak adanya dukungan dari keluarga sosial dapat berefek pada adaptasi kesehatan seseorang (Friedman, 1998).


Usia
  • Usia adalah umur individu yang dihitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun (Elizabeth, 1995). Semakin cukup umur tingkat kematangan seseorang akan lebih dipercaya dari pada orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Jika kematangan usia seseorang cukup tinggi maka pola pikir orang tersebut akan lebih dewasa (Amiruddin, 2006)


Pendidikan
  • Tokoh pendidikan abad 20, Langevelt yang dikutip dari Notoatmojo (1993) mendefinisikan pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak yang tertuju kepada pendewasaan. Jadi dapat dikatakan bahwa pendidikan tersebut menuntun manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan seseorang akan bertambah (Amiruddin, 2006).

  • Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan, hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan atau pengertian masyarakat tentang kusta. Hal tersebut juga menjadi hambatan yang serius dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit kusta termasuk juga peran serta masyarakat (Depkes RI, 1995).


Ekonomi
  • Sosial ekonomi dapat menggambarkan tingkat kehidupan seseorang didalam masyarakat. Tingkat ekonomi dapat ditinjau dari kualitas keluarga yaitu suatu kondisi keluarga yang mencakup aspek pendidikan, kesehatan ekonomi dan budaya, kemandirian keluarga serta nilai agama merupakan dasar untuk mencapai keluarga sejahtera. Menurut Hendar dan Kusnaedi (2002) Ekonomi adalah suatu usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Ada 3 (tiga) tingkatan ekonomi yaitu :
  1. Ekonomi Rendah: Adalah suatu kebutuhan yang mencakup kebutuhan primer saja yaitu : sandang, pangan dan papan.

  2. Ekonomi Sedang : Adalah suatu kebutuhan yang mencakup kebutuhan primer dan sekunder.

  3. Ekonomi Tinggi : Suatu kebutuhan yang mencakup kebutuhan primer, sekunder dan tersier.

  • Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena kerusakan pada syaraf besar yang irreversible di muka dan di ekstremitas, motorik dan sensorik serta dengan daerah anesthesi yang disertai paralysis dan atropi otot (Juanda, 2000).


REFERENSI
  1. Arikunto, Suharsini, (1998) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta

  2. Andrianto Petrus, (1989), Dermanto – Venerologi, EGC, Jakarta

  3. Djuanda, Adhi (2000), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jilid III, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

  4. Depkes RI, (1995), Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, DITJEN PPM & PLP, Jakarta

  5. Depkes RI, (1997), Perawatan Kesehatan Masyarakat Petunjuk Teknis Kesehatan Masyarakat Pada Sasaran Individu dan Keluarga, Jakarta.

  6. Depkes RI, (1999), Buku Pedoman Kusta Nasional Untuk Sentinel Surveilans, DITJEN PPM & PLP, Jakarta.

  7. Depkes RI, (2005), Buku Pedoman Eliminasi Kusta, DITJEN PPM & PLP, Jakarta.

  8. Depkes RI, (2005), Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan XVII, DITJEN PPM & PLP, Jakarta

  9. Depkes RI, (2006), Model pelatihan Program P2 Kusta Bagi UPK, DITJEN PPM & PLP, Jakarta.

  10. Harahap, Mawardi (2000), Penyakit Kulit, Hipokrates, Jakarta.

  11. Friedman (1998), Perawatan Keluarga, Jakarta : EGC

  12. Notoatmodjo, S, (1993), Metodologi Penelitian Kesehatan Cetakan 2, Rineka Cipta, Jakarta.

  13. Nursalam, (2001), Metodologi Riset Keperawatan, Cetakan 1, Info Medika, Jakarta

  14. Nursalam, (2003), Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta

  15. Suprayitno, (2004), Asuhan Keperawatan Keluarga Aplikasi Dalam Praktek , Jakarta : EGC

  16. Sutedja Endang dkk, (2003), Kusta, Edisi II Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.


No comments:

Post a Comment